"I think the most that anybody can honestly say is: Look, I guarantee there will have a tough times. I guarantee that at some point, one or both of us would want to get out. but I also guarantee that if I dont ask you to be mine, I'll regret it for rest of my life. because I know in my heart, you're the only one for me."
-Ike Graham in Runaway Bride
Sunday, August 21, 2011
Tuesday, August 9, 2011
Our Music
Matanya masih menatap dalam mataku. Sepertinya ini sudah keseratus atau keseribu kalinya aku tenggelam kedalam mata indahnya. Dia tak mengucapkan sepatah katapun, hanya diam menatapku. Sudah hampir satu menit kami saling pandang seperti ini. Membuatku semakin tenggelam dan hilang kedalam mata indahnya.
Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya. Aku menatap sebentar ke arah telapak tangannya yang menghadap ke atas, seperti meminta sesuatu kepadaku. Aku tak mengerti maksudnya, kemudian menatap matanya dengan pandangan bingung. Ia mengarahkan matanya ke telapak tangannya yang masih terbuka, seperti menyuruhku untuk melakukan sesuatu dengan telapak tangannya.
Kujulurkan tanganku. Perlahan kudekatkan pada telapak tangannya yang masih diam disana menunggu. Aku meletakkan telapak tangan kanan ku perlahan diatas telapak tangan kanannya. Kulihat senyum mengembang di wajahnya. Kemudian perlahan ia berdiri dari tempat duduknya semula, menarikku untuk ikut berdiri sambil masih menggenggam tanganku. Aku masih tak mengerti apa yang akan dia lakukan.
Saat aku sudah berdiri dihadapannya, ia menarikku lebih dekat. Senyumnya belum hilang, malah sepertinya kali ini berubah menjadi senyum nakal ketika ia melihatku semakin bingung dengan apa yang sedang dilakukannya. Tangan kanannya masih menggenggam tangan kananku. Kemudian perlahan tangan kirinya menarik tangan kiriku ke bahunya. Hey, jantungku berdetak semakin kencang.
Matanya menatap mataku, jantungku semakin tak karuan. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di pinggangku. Oh, tangan kirinya sekarang berada disana. Sepertinya kali ini pipiku mulai bersemu kemerahan. Aku menundukkan kepala takut ia melihat wajah maluku.
"Dance with me, will you?" akhirnya dia berbicara. Dan... apa katanya barusan?
"Kan ngga ada musiknya?" aku cuma bisa mengatakan itu. Masih dengan kepala menunduk.
Sesaat kemudian tangannya meraih daguku, perlahan ia mendongakkan wajahku dan memperlihatkan senyum manisnya lagi.
"Jangan malu, bisa kok meskipun ngga ada musiknya." ia kembali meraih pinggangku.
Aku masih menatap wajahnya dengan bingung. Kemudian kurasakan perlahan ia bergerak ke kanan, menuntunku mengikuti gerakannya. Kami bergerak bersama-sama, ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Aku mencoba mengikutinya. Ku tarik tangan kiriku dari bahunya dan beralih memeluk pinggangnya. Kuberanikan diri untuk merebahkan kepalaku di dadanya.
Aku terkejut sesaat. Kemudian senyumku mengembang ketika semakin lama aku mendengarkan detak jantungnya. Kami masih bergerak bersama-sama dengan gerakan yang semakin teratur. Aku mengerti sekarang, detak jantung kami berdua adalah musiknya. Kami bergerak beriringan seiring detak jantung kami yang sama-sama lebih cepat dari biasanya.
Rasanya nyaman.
"Ini musik terbaik yang pernah aku denger." kataku pelan di dadanya. Sesaat kemudian aku merasa kalau dia tersenyum ketika mendengarku bicara.
"Dan kamu adalah penari terbaik yang pernah ada." aku merasakan bibirnya mengecup ujung kepalaku pelan.
Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya. Aku menatap sebentar ke arah telapak tangannya yang menghadap ke atas, seperti meminta sesuatu kepadaku. Aku tak mengerti maksudnya, kemudian menatap matanya dengan pandangan bingung. Ia mengarahkan matanya ke telapak tangannya yang masih terbuka, seperti menyuruhku untuk melakukan sesuatu dengan telapak tangannya.
Kujulurkan tanganku. Perlahan kudekatkan pada telapak tangannya yang masih diam disana menunggu. Aku meletakkan telapak tangan kanan ku perlahan diatas telapak tangan kanannya. Kulihat senyum mengembang di wajahnya. Kemudian perlahan ia berdiri dari tempat duduknya semula, menarikku untuk ikut berdiri sambil masih menggenggam tanganku. Aku masih tak mengerti apa yang akan dia lakukan.
Saat aku sudah berdiri dihadapannya, ia menarikku lebih dekat. Senyumnya belum hilang, malah sepertinya kali ini berubah menjadi senyum nakal ketika ia melihatku semakin bingung dengan apa yang sedang dilakukannya. Tangan kanannya masih menggenggam tangan kananku. Kemudian perlahan tangan kirinya menarik tangan kiriku ke bahunya. Hey, jantungku berdetak semakin kencang.
Matanya menatap mataku, jantungku semakin tak karuan. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di pinggangku. Oh, tangan kirinya sekarang berada disana. Sepertinya kali ini pipiku mulai bersemu kemerahan. Aku menundukkan kepala takut ia melihat wajah maluku.
"Dance with me, will you?" akhirnya dia berbicara. Dan... apa katanya barusan?
"Kan ngga ada musiknya?" aku cuma bisa mengatakan itu. Masih dengan kepala menunduk.
Sesaat kemudian tangannya meraih daguku, perlahan ia mendongakkan wajahku dan memperlihatkan senyum manisnya lagi.
"Jangan malu, bisa kok meskipun ngga ada musiknya." ia kembali meraih pinggangku.
Aku masih menatap wajahnya dengan bingung. Kemudian kurasakan perlahan ia bergerak ke kanan, menuntunku mengikuti gerakannya. Kami bergerak bersama-sama, ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Aku mencoba mengikutinya. Ku tarik tangan kiriku dari bahunya dan beralih memeluk pinggangnya. Kuberanikan diri untuk merebahkan kepalaku di dadanya.
Aku terkejut sesaat. Kemudian senyumku mengembang ketika semakin lama aku mendengarkan detak jantungnya. Kami masih bergerak bersama-sama dengan gerakan yang semakin teratur. Aku mengerti sekarang, detak jantung kami berdua adalah musiknya. Kami bergerak beriringan seiring detak jantung kami yang sama-sama lebih cepat dari biasanya.
Rasanya nyaman.
"Ini musik terbaik yang pernah aku denger." kataku pelan di dadanya. Sesaat kemudian aku merasa kalau dia tersenyum ketika mendengarku bicara.
"Dan kamu adalah penari terbaik yang pernah ada." aku merasakan bibirnya mengecup ujung kepalaku pelan.
Wednesday, August 3, 2011
Jauh di Dalam Sana
Aku tergeletak lemah. Berbaring miring dengan posisi tangan dan kaki yang saling bertumpuk. Rasanya setiap otot-otot di tubuh ini tak mau bekerja sama dan mendengarkan perintah otakku. Pelan-pelan aku membuka mata. Merasakan setiap gerakan kelopak mataku yang lemah.
Setelah berjuang keras membuka mata, aku hanya bisa melihat sejauh jangkauan bola mataku. Kepalaku masih berat dan sulit untuk digerakkan. Tempat ini gelap, benar-benar gelap, jika aku tidak sadar telah membuka mata, mungkin aku masih berpikir kalau aku dalam keadaan terpejam. Rasanya dingin dan lembap. Dimana ini?
Jika dalam keadaan normal, maka seharusnya aku mencari tahu dimana aku saat ini dan mencari jalan keluar untuk kembali pulang. Tapi ini benar-benar bukan keadaan normal. Rasanya terlalu lelah dan lemah. Lelah untuk memaksakan otakku berpikir dan lemah untuk menggerakkan seluruh saraf dan otot badanku.
Aku terdiam lama ditempatku berbaring. Tak ingin bertarung melawan diriku sendiri dengan memaksanya bergerak. Sepertinya lebih baik begini. Sudah lama badan ini tak mendapatkan waktu istirahatnya. Dan sudah sangat lama sejak otak ini mengistirahatkan diri dari hal-hal yang membuatnya bekerja dengan keras. Mungkin saat ini mereka sedang bergembira karena dibebaskan dari rutinitas membosankannya. Aku sendiri, entah kenapa merasa tenang walaupun dalam keadaan seperti ini. Kupejamkan kembali mataku, mencoba membuat diriku sendiri melepaskan penat yang selama ini kurasakan.
Mataku terbuka dengan tiba-tiba ketika menyadari sesuatu. Tempat ini amat gelap dan sunyi. Kegelapannya seperti menenggelamkanku dalam pusaran tak berujung, walaupun aku mencoba membiasakan mataku melihat tanpa cahaya. Dan kesunyian ini. Semakin lama malah semakin bergaung di tempat ini. Kesunyian ini terlalu keras hingga memekakkan telinga. Aku mulai merasa tidak tenang. Tapi badanku masih belum bisa digerakkan.
Tiba-tiba ingatan-ingatan itu muncul kembali. Menamparku dengan setiap detilnya. Aku merindukan saat-saat itu. Saat semuanya terasa ringan dan membahagiakan. Aku merindukan wajah itu. Wajah dengan tatapan mata yang dalam dan tenang, wajah dengan senyum lebar yang membuatku ikut tersenyum. Aku merindukan suara itu. Suara yang tenang dan pelan. Suara yang membuatku tersenyum setiap kali mendengarnya. Aku ingin kembali. Aku ingin pergi dari tempat ini.
Kukumpulkan tenagaku. Kupaksakan setiap jengkal tubuhku untuk bergerak mematuhi perintahku. Kulawan semua rasa lemah dan berat yang kurasakan. Ayo bergeraklah!
Suara dikepalaku terus menerus meneriakkan keinginannya untuk bebas dari tempat asing ini. Tapi rasanya aku kehilangan kendali terhadap tubuhku sendiri. Sekuat apapun aku mencoba, tetap saja tak ada yang bisa digerakkan. Aku merasa semakin tenggelam dalam keadaan ini. Mungkin aku sudah tak bisa kembali. Mungkin disinilah aku harus tinggal. Sendirian, kesepian dan kedinginan.
Setelah berjuang keras membuka mata, aku hanya bisa melihat sejauh jangkauan bola mataku. Kepalaku masih berat dan sulit untuk digerakkan. Tempat ini gelap, benar-benar gelap, jika aku tidak sadar telah membuka mata, mungkin aku masih berpikir kalau aku dalam keadaan terpejam. Rasanya dingin dan lembap. Dimana ini?
Jika dalam keadaan normal, maka seharusnya aku mencari tahu dimana aku saat ini dan mencari jalan keluar untuk kembali pulang. Tapi ini benar-benar bukan keadaan normal. Rasanya terlalu lelah dan lemah. Lelah untuk memaksakan otakku berpikir dan lemah untuk menggerakkan seluruh saraf dan otot badanku.
Aku terdiam lama ditempatku berbaring. Tak ingin bertarung melawan diriku sendiri dengan memaksanya bergerak. Sepertinya lebih baik begini. Sudah lama badan ini tak mendapatkan waktu istirahatnya. Dan sudah sangat lama sejak otak ini mengistirahatkan diri dari hal-hal yang membuatnya bekerja dengan keras. Mungkin saat ini mereka sedang bergembira karena dibebaskan dari rutinitas membosankannya. Aku sendiri, entah kenapa merasa tenang walaupun dalam keadaan seperti ini. Kupejamkan kembali mataku, mencoba membuat diriku sendiri melepaskan penat yang selama ini kurasakan.
Mataku terbuka dengan tiba-tiba ketika menyadari sesuatu. Tempat ini amat gelap dan sunyi. Kegelapannya seperti menenggelamkanku dalam pusaran tak berujung, walaupun aku mencoba membiasakan mataku melihat tanpa cahaya. Dan kesunyian ini. Semakin lama malah semakin bergaung di tempat ini. Kesunyian ini terlalu keras hingga memekakkan telinga. Aku mulai merasa tidak tenang. Tapi badanku masih belum bisa digerakkan.
Tiba-tiba ingatan-ingatan itu muncul kembali. Menamparku dengan setiap detilnya. Aku merindukan saat-saat itu. Saat semuanya terasa ringan dan membahagiakan. Aku merindukan wajah itu. Wajah dengan tatapan mata yang dalam dan tenang, wajah dengan senyum lebar yang membuatku ikut tersenyum. Aku merindukan suara itu. Suara yang tenang dan pelan. Suara yang membuatku tersenyum setiap kali mendengarnya. Aku ingin kembali. Aku ingin pergi dari tempat ini.
Kukumpulkan tenagaku. Kupaksakan setiap jengkal tubuhku untuk bergerak mematuhi perintahku. Kulawan semua rasa lemah dan berat yang kurasakan. Ayo bergeraklah!
Suara dikepalaku terus menerus meneriakkan keinginannya untuk bebas dari tempat asing ini. Tapi rasanya aku kehilangan kendali terhadap tubuhku sendiri. Sekuat apapun aku mencoba, tetap saja tak ada yang bisa digerakkan. Aku merasa semakin tenggelam dalam keadaan ini. Mungkin aku sudah tak bisa kembali. Mungkin disinilah aku harus tinggal. Sendirian, kesepian dan kedinginan.
Monday, August 1, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)