Thursday, June 23, 2011

Iris

Hari ini dia datang lagi. Ketika matahari baru saja menghangatkan taman ini. Aku sudah tahu dia akan datang, tapi aku tak tahu kalau secepat ini. Aku baru saja terbangun dari tidur panjang sejak tadi malam. Ia tersenyum ketika menghampiriku. Wajahnya berkilau, karena sinar matahari yang menimpanya. Sayapnya mengepak lembut, kadang hampir tak terlihat karena gerakannya yang amat cepat. Kadang aku iri melihat sayap itu. Aku juga ingin memilikinya, aku juga ingin bisa terbang dan melihat tempat-tempat yang belum pernah kudatangi.

"Selamat pagi, Iris. Aku baru tahu kalau arti namamu melambangkan kau sangat peduli dan selalu siap jika dibutuhkan. Rasanya itu memang benar. Lihatlah, kau selalu ada jika aku membutuhkanmu." Ia tersenyum lebar setelah menyapaku. Kemudian berhenti tepat di depanku.
"Dari mana kau tahu arti namaku? Tentu saja aku selalu ada ketika kau membutuhkanku, aku tidak mungkin dapat meninggalkan taman ini kan. Aku tak mempuyai sayap sepertimu." Aku tersenyum padanya.
"Oh, kuharap kau tak mempunyai sayap, Iris. Nektar siapa yang akan kuhisap nantinya?" Kali ini ia hinggap di salah satu kelopak bungaku. Menjadi sangat dekat denganku. Dan entah kenapa, aku malah senang, apalagi ketika ia mulai menghisap nektar yang kumiliki.
"Bukankah masih banyak bunga lain di taman ini? Kau bisa menghisap nektar mereka sesukamu kan. Kenapa harus aku? " Aku merasa konyol dengan  pertanyaanku sendiri. Tapi entah kenapa aku tidak bisa menahan pertanyaan itu. Dia diam beberapa saat. Matanya menatap mataku amat dalam.
"Begini, Iris. Aku adalah lebah madu, aku sudah pernah merasakan nektar berbagai jenis bunga di taman ini, maupun di tempat lain. Dan... kupikir aku hanya menyukai nektarmu. Kurasa Bunga Iris memiliki rasa nektar yang berbeda. Selain itu... aku menyukaimu." Ia tersenyum lembut di depanku, kemudian mulai menghisap nektar yang kumiliki. Aku tak tahu harus menjawab apa setelah ini. Sepertinya kali ini aku terhipnotis lagi olehnya.

Aku mengenalnya sejak beberapa bulan yang lalu. Ketika suatu sore ia datang sendirian, melintasi taman ini. Ia berhenti sebentar di tengah-tengah taman, sepertinya sedang menimbang-nimbang bunga apa yang akan ia pilih. Seketika itu ia menatap ke arahku, kemudian terbang dengan cepat menghampiri aku. Dia lebah yang sangat baik. Ketika hinggap di kelopakku ,dengan lembut ia meminta ijin untuk menghisap nektar yang kupunya. Dan sejak saat itu... sepertinya aku menyukai dia. Dan sejak saat itu pula ia setiap hari datang menghampiriku, untuk menghisap nektarku tentu saja.

"Tadi kau bilang kau menyukaiku." Tiba-tiba aku merasa gugup untuk berbicara dengannya. Ia mendongak dan menatapku, menghentikan kegiatan yang sedang ia lakukan.
"Ya, aku menyukaimu. Dan kupikir kau juga ?" Aku semakin gugup.
"Mmmh ya...aku juga. Tapi...apa maksudnya? Maksudku, dalam hal apa kau menyukaiku?"
"Kau memiliki bentuk yang indah dan nektar yang amat enak. Kau sangat baik .Dan, yah... semacam itulah."
"Kupikir kau menyukaiku lebih dari itu." Sepertinya suaraku terdengar amat rapuh.
"Hmm ,aku tak mengerti maksudmu, Iris. Dan... aku akan pergi sekarang. Sampai jumpa."

Sepertinya aku mulai memahami keadaannya sekarang. Aku adalah sekuntum bunga dan dia adalah seekor lebah. Aku menyukainya, tidak ,tidak sekedar menyukainya. Aku menyayanginya, dan hal yang kupahami saat ini adalah dia menyukaiku. Ya, dia menyukaiku. Tapi hanya sebagai bunga tempat ia menghisap nektar yang akan dijadikan madu. Hanya sebagai bunga yang selalu ada ketika dia membutuhkanku. Tidak lebih dari itu. Mungkin aku terlalu banyak bermimpi. Mana mungkin seekor lebah seperti dia merasakan hal yang sama denganku? Kali ini aku benar-benar ingin memiliki sayap agar dapat meninggalkan tempat ini. Agar aku tak harus melihatnya lagi.

Saturday, June 11, 2011

Happy

Hai. Namaku Happy.
Bukan berarti karena arti namaku bahagia, aku adalah orang yang selalu bahagia. Segera buang jauh-jauh pikiran itu dari kepala kalian. Aku pernah bahagia, tapi ternyata itu bukan hal yang baik. Aku bingung kenapa orang tuaku memberikan nama ini padaku. Ah, mungkin mereka orang-orang yang menyukai kebahagiaan. Bukan seperti aku.

Aku tahu rasanya bahagia. Mungkin hal itu lebih seperti minuman keras dengan kadar alkohol tinggi. Ketika kita pertama kali merasakannya, kehangatan yang menjalar dari mulut masuk hingga ke dalam tenggorokan dan terus masuk menghangatkan tubuh kita. Membuat kita mabuk dengan kenyamanannya. Sesaat kita hanya ingat dengan rasa hangatnya yang membuat melayang, melupakan hal lain yang pernah ada di kepala kita.

Tapi itu hanya sesaat.

Setelahnya? Segala kesedihan, kekesalan, rasa sakit, penyesalan, rasa frustasi .Hal itu semua akan kembali. Dan mereka kembali dalam jumlah berkali-kali lipat dari sebelumnya. Apakah itu baik? Kurasa tidak.

Aku telah berkali-kali merasakannya. Kebahagiaan itu. Dan pada akhirnya aku harus menanggung rasa sakit itu lagi. Perasaan yang kutinggalkan ketika aku merasakan kebahagiaan. Dua kali lipat dari yang sebelumnya. Itu bukan hal yang sehat, tentu saja.

Andai saja bahagia itu tidak menyisakan kepedihan di akhir, mungkin aku akan sangat bangga dengan nama yang kumiliki.